27 Februari 2008

Play Heart Work Heart

Itu adalah semboyan sebuah bank asing yang tertera di hadapan saya saat sedang rapat bersama tim mereka. Semboyan itu benar menggugah batin karena selama ini kalau bisa saya malah berfalsafah play hard work hard.

Tak salah kalau kemudian saya bisa melakukan hal-hal di luar akal sehat. Saya mengharap rapat dan kerja sama saya dengan mereka berakhir dengan menggunakan “hati”, termasuk soal pembayarannya bila proposal di ruang rapat itu diterima. “Asyik-asyik nyindir saja,” kata mitra saya.

Beberapa bulan lalu teman saya bercerita, ia diutangi seorang ibu superkaya istri pengusaha yang sampai tulisan ini diturunkan masih menunggak pembayaran untuk pesanan kebayanya yang jumlahnya sepuluh buah. Padahal, teman saya cuma perancang mode ecek-ecek yang kebetulan jahitan kebayanya cukup dahsyat.

“Sampai capai nagih-nya,” katanya suatu hari. “Mereka berani utang sama kita, Mas. Apa iya mereka bisa melakukan itu di Gucci dan Prada. Enggak, kan?” lanjutnya.

Begitulah pengalaman yang saya perhatikan dan pernah saya jalani. Kalau bisa menunggak, mengapa harus enggak menunggak? Lha wong kadang sudah diberi fasilitas menunggak beberapa minggu—kadang satu bulan—saja masih juga tak mau melunasi pembayaran. Paling enak memang menunggak, apalagi menunggaknya sekian ratus juta rupiah. Disimpan saja dulu di bank, kan ada bunga hariannya, daripada langsung ludes untuk membayar utang.

Kalaupun yang mendapat beban tunggakan sengsara sehingga tak bisa memutar uangnya untuk melangsungkan jalannya perusahaan kecil mereka, memang apa peduli saya dan mereka yang berperi laku seperti saya?

“Seandainya ibu itu bisa memosisikan dirinya seperti aku yang cuma tukang jahit ini, mau enggak sih digituin?” kata teman saya itu.

Saya cuma geleng-geleng kepala dan berkata dalam hati, ya tentunya si ibu tak bisa dan tak mau memosisikan dirinya sebagai tukang jahit ecek-ecek. Kalau saja ia bisa melakukan itu, sudah pasti dia akan melunasi pembayarannya dan saya tak akan menulis pengalaman teman
saya yang disengsarakan istri seorang pengusaha itu.

Jadi binatang

Beberapa waktu lalu saya sedang di dalam mobil dalam perjalanan pulang. Telepon genggam saya berdering, nama perancang mode kondang Edward Hutabarat tampil di layar alat komunikasi itu. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, sehabis saya mengisi perut yang keroncongan. Jadi, saat Mas Edo menelepon, saya sudah siap dengan tenaga untuk mengobrol dengannya yang sudah lama, lama sekali tak saya jumpai.

Seperti biasa, kami melepas rindu dengan cerita ke sana-ke mari. Lama sudah tak terdengar kabarnya, tetapi belakangan saya melihat ia come back lagi dengan koleksinya yang lebih ringan, lebih muda, dan tetap memegang teguh menggunakan kain Indonesia. Belum lagi butik baru dan buku barunya juga sudah diluncurkan.

Setelah melepas rindu ia mulai bercerita tentang usahanya berkonsentrasi dengan kain-kain Indonesia. Ceritanya itu bukan hal baru buat saya, tetapi satu hal yang baru adalah keinginannya agar orang lebih mencintai lagi negeri ini.

Ia bercerita sekian tahun ia keluar-masuk berbagai macam pedusunan untuk bertemu dengan masyarakat lokal. Yang ia temukan bukan hanya sekadar kain-kain lama yang menawan, tetapi kerukunan hidup mereka di sana. “Hand made itu enggak penting, yang penting itu human made,” katanya. Kalimatnya itu menghujam tenggorokan dan konsentrasi saya. Ia berbicara terus, tetapi saya sudah tak bisa mendengarnya lagi.

Saya tewas mendengar pernyataan itu. Saya sering kali lupa sayaini manusia. Sekarang saya mengerti mengapa ada sebutan manusia itu bisa seperti binatang. Dan cukup lama saya adalah binatang itu.

Pekerjaan saya diciptakan tidak dengan hati, tidak dengan rasa. Meniru karya orang kemudian dijual. Pokoknya asal untung dan menghasilkan banyak uang. Yang dipikir hanya uang, uang, dan uang. Mencari perdamaian? Nanti saja dulu. Saya justru paling suka mengajak orang berkelahi. Menuntut, mendepak, dan menjatuhkan teman sekantor, melukai, menghajar bisnis saingan saya. Menipu dan mencuri.

Semasih menjadi pimpinan, acapkali saya mengusulkan orang untuk mengirimkan proposal dan melakukan presentasi saat saya merencanakan sebuah kegiatan. Kemudian tak satu pun dari presentasi itu saya pilih, tetapi saya mengambil ide dari semua itu untuk saya pergunakan, tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. Saya teringat kembali semboyan di ruang rapat bank asing itu. Play heart, work heart. Pernahkah saya? Atau pernahkah si pembuat semboyan itu? “Hayo, nyindir lagi,” kata mitra saya.

Serigala berbulu

Saya tinggalkan hati saya di rumah karena menurut saya dunia di luar rumah saya itu keras. Saya tak perlu cinta, kasih apalagi. Rendah hati, mengalah, lemah lembut, mengampuni, sebaiknya dimasukkan saja di kotak P3K dan dikeluarkan bila sudah masuk ke lingkungan gereja setiap minggu.

Di luar semua itu saya harus keras, saya harus jadi binatang dan menghunus pedang. Dan tak ada gunanya kalau pedang sudah dihunus tak dihujamkan ke perut orang dan bila sudah jadi binatang tak menerkam.

Kemudian saya bertanya kepada diri sendiri setelah begitu lamanya menjadi penjahat. Mengapa susah sekali menciptakan perdamaian? Saya pernah ditanya dengan satu pertanyaan, apakah keinginan saya? Banyak jawabannya. Tetapi, harus diakui saya ingin hidup tenang, terutama pada masa menjelang lampu pencabut nyawa dinyalakan.

Ketenangan? Teman saya bertanya balik dalam bahasa enggres (meminjam istilah pembantu saya), “Are you sure?” Saya geleng kepala karena saya sendiri tak yakin dengan jawaban saya sendiri. Kalau saya ingin damai, mengapa saya selalu senang menciptakan ketidakdamaian.

Saya senang bermuka dua. Kepada atasan saya menjilat ke bawahan saya mengatakan kejelekan atasan. Bertemu atasan lagi, saya menjelekkan bawahan saya. Prinsipnya saya ahli menjatuhkan orang. Orang atas dan orang bawah.

Saya sering cuci tangan. Sebelum dan sesudah makan, dan sebelum dan sesudah melaporkan sesuatu yang tak berjalan sebagaimana mestinya. Saya tak mau bertanggung jawab. Tetapi, kalau itu soal prestasi, saya akan mengeluarkan kata-kata, “It is all because of me.” Saya menciptakan sakit hati di mana-mana. Dan saya sangat menikmati itu.

Misalnya saja, teman saya bercerita kepada saya mengenai sahabatnya yang belakangan berperilaku aneh. Ia menumpahkan semuanya kepada saya dengan ceritanya yang berapi-api dan saya tak tahu apakah ceritanya itu juga kemasukan bumbu-bumbu dapur lainnya. Saya yang mendengar cerita itu dan kebetulan mengenal teman yang aneh itu juga, tak malah berdiam dan memberi jawaban yang positif, tetapi malah oh… ya, oh… ya dan terus, terus.

Dan setelah pertemuan itu, saya mulai menyiarkan siaran pers melalui SMS, malah kadang menelepon beberapa teman, untuk menjatuhkan teman saya yang berperilaku aneh itu.

Setelah saya berpikir waras, saya bertanya apa salahnya ia berperilaku aneh. Ia sendiri tak keberatan, mengapa saya dan teman saya menjadi begitu keberatan dan mempermasalahkan. Kalaupun teman saya jadi benar aneh, saya toh tak dirugikan, bukan? Kalaupun saya merasa dirugikan, tinggalkan saja. Semudah itu, bukan? Tidak semudah itu buat saya, saya ingin mempersulit situasi karena mental saya yang memang bukan pecinta perdamaian.

Itu sebabnya mengapa menjawab pertanyaan saya sendiri itu susahnya setengah mati. Mau damai, tetapi membuat ketidakdamaian itu kok ya uenak tenan. Saya tak tahu apakah Pak George Bush punya perasaan sama dengan saya. “Bisa jadi lho, Mas,” kata teman saya.

Edo, demikian saya memanggil sang desainer, mengakhiri pembicaraan sekian puluh menit itu. Tetapi, suaranya soal human made tak hilang di gendang telinga saya. Terpaksa saya bawa pulang ke rumah dan tepat saat saya ditelan gelapnya malam, saya disadarkan suara sang desainer bahwa ternyata selama ini saya memang bukan manusia. Saya cuma binatang bernama serigala yang berbulu tangkis. Eh… salah, berbulu domba.

Sumber: “Play Heart Work Heart” oleh Samuel Mulia

Tidak ada komentar: